jumanto wrote:BAHASA sebagai salah satu sarana berpikir (ilmiah) —di samping logika, matematika, dan statistika— memang unik karena memiliki dua tataran. Bahasa objek, dalam tataran pertama adalah denotasi, yakni bahasa apa adanya. Adapun metabahasa, tataran kedua adalah konotasi, yang mencakupi imajinasi manusia: improvisasi dan kreativitas bahasa yang tidak terbatas. Kamar kecil dalam bahasa objek adalah kamar berukuran kecil, sementara dalam metabahasa bisa berarti toilet dan sejenisnya. Dalam tataran metabahasa inilah, metafora terlahir dan terjadi, dan kita
gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, yakni menyebut sesuatu dengan meminjam properti semantik sesuatu lainnya. Santun atau berbahayakah metafora? Mari cermati di sekitar kita.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah menyadari menggunakan metafora. Mengingat metafora bersifat tidak langsung (nonliteral), di sana kita melihat kesantunan. Menyebut kamar kecil misalnya, lebih santun ketimbang toilet, dan minta ’’izin ke belakang’’ terdengar lebih sopan daripada kata apa pun yang mengacu aktivitas di kamar mandi/ WC. Namun ada bahaya yang perlu dicermati andai berkait media massa dan dunia
politik. Pasalnya hal itu melibatkan massa yang membaca, bertanya-tanya, dan mungkin tidak berterima. Mengapa metafora, yang bersifat tak langsung itu, bisa berbahaya? Sebagian pemirsa televisi tentu ingat ketika salah satu tayangan televisi mempertontonkan ada orang takut anjing lalu
dihipnotis dan disugesti supaya sewaktu melihat binatang itu, sama dengan melihat wajah Benyamin Sueb. Tayangan itu langsung membuat marah budayawan yang concernbudaya Betawi, termasuk warga Betawi. Akibatnya, program tayangan itu harus ditutup. Salah satu kandidat Pilpres 2014 pun
disebut kucing kampung oleh lawan politiknya. Ahok, Wagub DKI Jakarta, disebut kutu loncat. Metafora semacam itu menjadi berbahaya karena mencoreng nama baik seseorang atau melukai perasaannya. Apalagi bila nama baik dan perasaan itu milik masyarakat atau massa yang mendukungnya. Menjadi berbahaya bila reputasi dan kehormatan seseorang begitu saja ditempeli properti semantik dari entitas ’’binatang’’, terlebih bila properti semantik dari entitas tersebut negatif. Bagi muslim, anjing tetap ’’negatif’’ meskipun ada yang benar-benar lucu. Kucing bisa positif atau negatif namun tambahan kata kampung membuatnya negatif. Adapun kutu tetap negatif, apalagi ditambah loncat. Ketidaklangsungan
dalam metafora memang demi menjaga kesantunan namun properti semantik dari binatang ’’tertentu’’ mengempaskan kesantunan itu jadi ketidaksantunan (penghinaan, sindiran, menyakiti perasaan, ketidakpercayaan, dan sebagainya).
Kata Tabu
Hal itu berlaku untuk metafora semisal tikus berdasi, buaya darat, lintah darat, kumpul kebo, sapi perah, kupu-kupu malam dan sebagainya. Sifat ontologis metafora yang tidak langsung juga membuat dunia hukum tak berkutik, tidak bisa memprosesnya meskipun ada pencemaran nama baik pihak tertentu. Belum lagi andai dibalut kemelut proses persaingan politik. Namun ada metafora ’’binatang’’ yang masih positif sehingga tetap mengarah pada kesantunan karena lebih mendasarkan ’’reputasi’’ positif dari binatang tersebut, kendati kita harus hati-hati menerapkannya. Semisal mata elang, napas kuda, sepasang merpati, garuda di dada, dan singa perkasa.
Metafora lain yang juga berbahaya adalah ancaman melalui teks ’’Peringatan: Merokok Membunuhmu!’’ Saya menganggap berbahaya karena membunuh adalah kata tabu yang seharusnya ’’tidak santun’’ disebarluaskan. Apalagi dalam jangkauan bacaan, pikiran, dan penalaran anak-anak. Memang peringatan tersebut metafora mengingat ’’pembunuhan’’ itu tidak terjadi secara langsung. Anak-anak hanya akan melihat dan memahami kata ’’membunuh’’ bukan dari proses panjang berpuluh-puluh tahun terpengaruh asap dan racun rokok yang merugikan kesehatan pengisapnya (buruk
bagi kesehatan dan bisa mengakibatkan kematian). Hal itu berbeda dari teks ’’penjahat (bisa) membunuhmu’’ atau ’’binatang buas (dapat) membunuhmu’’. Sebelumnya, bahasa objek yang dipakai adalah ’’Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan Janin’’, yang terdengar lebih santun. Pasalnya, bersifat tak langsung dan pengiriman pesannya lebih efektif mengingat
dipahami oleh perokok dewasa, jauh dari jangkauan pemahaman anak-anak. Konteks yang seharusnya ditabukan dan dikuburkan, sebaiknya jangan dipublikasikan dan disebarluaskan. Peringatan tersebut memang ideologi kesehatan dari pemerintah guna melawan ideologi ajakan merokok dari produsen. Namun berkait konflik ideologi (paradoks), siapa pun yang memasang atau memerintah memasang teks itu, harus mempertimbangkan
pemahaman anak-anak. Artinya, pencantuman teks itu pada kemasan rokok jangan semata-mata bertujuan menakut-nakuti (memperingatkan)
orang dewasa supaya tidak merokok. Mengapa dampak dari sisi bahasa tidak terpikirkan sebelumnya? Padahal metafora yang dianggap biasa dan tidak berbahaya ternyata berisiko menebar bencana budaya. (10)
Sumber: http://epaper.suaramerdeka.com/read/201 ... J14NAS.pdf
Users browsing this forum: annielc16, KaelinCrikews, NefariusSam, TemmyBimargy and 4 guests